Rangkasbitung, pasar, stasiun kereta api, musik underground, dan tahu. Apa hubungannya?
Dua puluh sembilan Juli dua ribu sebelas di Goethe Institut, Pusat
Kebudayaan Jerman. Pukul tujuh malam, Forum Lenteng menggelar
pertunjukkan perdana film berlabel Dongeng Rangkas. Tentang dua
orang anak manusia, Kiwong dan Iron. Bekerja sama dengan Komunitas
Saidjah Forum, film ini berusaha memaparkan situasi masyarakat
Rangkasbitung dengan hiruk-pikuk di sekitarnya. Adakah sesuatu yang
ingin diungkap dalam penggambaran visual ini?
Pasar, kereta api, dan penjual tahu menjadi benang merah yang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari film bertajuk Dongeng Rangkas.
Pasar dan kereta api, melatari hampir keseluruhan inti kisahan yang
ingin disampaikan kepada penonton. Lalu proses pembuatan tahu sampai
upaya menjajakannya kepada pembeli, menjadi daya tarik tersendiri yang
tidak bisa dilepaskan dari rutinitas dua tokoh sentral ini. Hal yang
stereotip diketahui masyarakat awam mengenai masyarakat setempat, coba
diungkap lebih mendalam dan menjadi “sesuatu” yang berbeda—sebagai
wacana baru—bagi penonton yang belum atau sudah tahu tentang
Rangkasbitung.
Sisi menonjol dalam penggambaran visual film ini, adalah dengan diangkatnya wacana religiusitas dan musik underground.
Mengesankan. Lewat pemaparan ini, penonton diajak menyelami konflik
intern dalam diri tokoh Kiwong dan Iron terhadap keinginannya sendiri.
Mengenai usaha mereka untuk mendamaikan kenyataan dan harapan yang
kerapkali bertentangan, tapi tak ada kata menyerah dalam kamus mereka.
Musik underground tetap menjadi naluri Iron dalam sendi-sendi
kehidupannya. Apa pun yang terjadi, ia akan tetap menjunjung tinggi
musiknya sampai titik darah penghabisan.
Sementara itu, wacana
religiusitas menjadi hal penting yang tidak bisa dipisahkan dari budaya
masyarakat setempat. Bagaimana masing-masing individu menjalankan
ibadahnya, juga cara mereka memandang seperti apa keyakinannya sendiri.
Lewat kedekatan—suasana yang lebih intim—antara tokoh sentral dengan
kamera, setidaknya telah terbangun kedekatan yang sama dengan penonton.
Penonton diajak membuka indera perasanya untuk menyelami “sesuatu” yang
dimiliki Rangkasbitung, dari sudut pandang kehidupan Kiwong dan Iron.
Segi natural para tokoh dalam memainkan dirinya di depan kamera,
menjadi “sesuatu” yang unik. Mengapa? Ini menarik, karena mereka
menuturkan cerita diri mereka sendiri dengan cara yang sederhana dan apa
adanya, seperti lingkup keseharian mereka dalam berdialog dengan
sekitarnya. Tanpa canggung, mereka menggerakkan gestur dan mimik muka
tanpa gerakan yang terkesan dibuat-buat. Segi natural ini belum tentu
dimiliki tokoh-tokoh lain yang beraksi di depan kamera.
Namun, di balik pengungkapan “sesuatu” yang menonjol dari film ini,
ada “sesuatu” lain yang semestinya menjadi perhatian utama penonton.
Salah satunya adalah blocking pemain. Beberapa adegan dalam
film ini, memperlihatkan sisi tokoh sentral yang sedang menjadi fokus
utama dalam porsi yang tertutupi tokoh lain—tertutup punggung. Hal ini
membuat fokus penonton terpecah dan objek utama terhalang lebih dari
separuh, sehingga kesan estetik pun jadi berkurang.
“Sesuatu” yang kedua, yaitu mengenai interpretasi yang dibangun oleh
pemilihan judul. Dongeng membicarakan sesuatu atau cerita yang tidak
benar-benar terjadi. Ini menjadi sedikit kontradiksi dengan isi narasi,
yang mengetengahkan kejadian nonfiksi, dalam arti “sesuatu” yang nyata
dan benar-benar dialami tokoh-tokoh sentral tersebut.
“Sesuatu” yang ketiga, adalah sisi lain yang terungkap dari citra
visual tokoh Iron dan Kiwong. Kehadiran mereka membuka pandangan baru
bagi masyarakat lebih luas, yaitu bagaimana realitas budaya setempat
tidak selamanya streotip seperti yang biasa dicitrakan orang tentang
Rangkasbitung. Di sana, tidak hanya tersimpan debus atau aspek
religiusitas yang dipeluk erat masyarakat setempat. Rangkasbitung juga
menyimpan “sesuatu” yang bisa dimaknai sebagai wacana filosofis
seseorang dalam memandang hidup, dan ini terungkap lewat narasi Kiwong
dan Iron mengenai jati diri mereka sendiri. Sebuah perjalanan hidup yang
tergambar dengan ilustrasi laju kecepatan kereta api yang berlalu
menuju ibukota, dan pasar yang tidak pernah sepi menjajakan tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar